CLIPPING
“Halleluya” Siap  Kalahkan Bangkok
Agrobis
Edisi : Minggu ke 1 Juni 1994

Bukan rahasia lagi bahwa pengemar perkutut yang juga menekuni peternakannya, diam-diam menyiapkan diri “mengalahkan Bangkok”. Mereka tak mau tinggal diam ketika perkutut Bangkok terus menerus mengalir ke negeri ini. Betapapun bagusnya kualitas suara perkutut Bangkok, namun standar suara perkutut selalu berkembang seiring dengan peningkatan kualitas suara itu sendiri. Hal inilah yang dijadikan modal Kok Tjoe, pemilik peternakan perkutut “Halleluya” untuk mengalahkan suara perkutut dari Bangkok. “Dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang akan terbukti,” ujarnya pada AGROBIS dengan nada yakin.

Kok Tjoe punya strategi, bahwa dia tetap yakin masih ada sisi yang masih lowong dan memungkinkan dapat dilakukan untuk melakukan “penyerangan”  pada Bangkok ini. Apalagi justru Bangkok sebelum menghasilkan bibit perkutut yang unggul seperti sekarang ini, asal mulanya impor dari Indonesia.

Jika keunggulan perkutut Bangkok pada suara yang besar, menurut Kok Tjoe dapat dikalahkan oleh jenis perkutut yang mempunyai suara kristal dan tembus, lebih-lebih suaranya besar. Untuk menghasilkan keturunan yang demikian memang sangat susah, mengingat induknya selama ini belum ada.

Cara yang dipakai adalah dengan mengunakan kelebihan  antara burung satu dengan lainnya. Misalnya perkutut A memiliki “kuung” bagus, sementara satunya bagus suara tengahnya yaitu “keteg”, maka diharapkan nantinya dapat menghasilkan perkutut “keteg-Kuung” yang bagus. Begitu pula seterusnya jika ingin menambahkan suara lain yang diinginkan.

Sistem ini memang membutuhkan kesabaran bahkan waktu yang diperlukan relatif lama, namun biaya yang dikeluarkan relatif lebih kecil. Bayangkan kalau langsung mencari perkutut yang sudah bersuara bagus, di samping sulit juga harganya akan jauh lebih mahal.

Untuk menyiasati persoalan tersebut, sering Kok Tjoe hanya membeli saudara perkutut yang berhasil meraih juara. Seperti yang baru dibeli dari A Tjung yang saudaranya baru dijual ke H. Muhammad Khusaini yang keluar sebagai juara I dalam lomba perebutan Surya Cup IV di Surabaya minggu lalu.

Cara yang digunakan Kok Tjoe juga mempunyai kelebihan yang belum dimiliki dengan sistem lain, yaitu dapat memciptakan suara burung yang dikehendaki dan belum pernah ada sama sekali. Sedangkan cara yang biasa dipakai oleh peternak lainnya paling-paling dapat dibilang sukses jika menghasilkan keturunan yang sama suara dengan induknya .

Sudah Ada Jagonya
Alhasil, Kok Tjoe berani menduga bahwa untuk dapat mengalahkan perkutut Bangkok harus lahir perkutut yang mempunyai suara yang berbeda. Misalnya “Klaw-keg-keg-keg-koong” yang berirama lelah “Yang ini sudah ada”, tegasnya dengan mata berbinar. Meskipun diakuinya perkutut itu masih perlu dimodifikasi agar suaranya lebih besar, mengkristal dan tembus. Dan untuk menghasilkan suara yang demikian dibutuhkan waktu yang cukup lama. Kok Tjoe melakukannya sejak tahun 1979, bahkan finalnya diperkirakan 5 samapai 10 tahun mendatang. “Kalau Tuhan menghendaki”, tambahnya lantas tersenyum.

Sebagai strategi dalam menghadapi persaingan dengan Bangkok, sementara waktu Kok Tjoe tidak mau menjual hasil ternaknya kepada semua orang. Apalagi yang akan dibeli itu merupakan bibit-bibit unggul yang menjadi andalannya, meskipun dibeli berapapun harganya. Sebab orientasinya bukan pada bisnis perkutut, namun bagaimana mengembalikan citra perkutut Indonesia sendiri.

Di samping selektif dalam penjualan, dia berusaha menjaga konsentrasi dalam pengembangan suara perkutut dengan cara menyilangkan dari berbagai induk yang memiliki suara bagus. Meskipun ada perkutut yang hanya memiliki suara depan saja yang bagus misalnya, dia pertahankan agar bisa disilangkan dengan perkutut lain yang memiliki suara bagus di tengah atau depan. Dan lelaki ini tidak mau ikut lomba seni suara burung perkutut. “Kalau turun ke lomba, burung-burung yang bagus tentu akan ditawar penghobi lain, dan biasanya kalau sudah melihat uang cenderung tergiur menjualnya, apalagi dengan tawaran tinggi,” katanya.

Kekhawatirannya, bibit unggulnya akan habis sehingga perternakannya tidak menghasilkan keturunan yang baik. Produktivitas juga menjadi rendah, dan ini justru merugikan bagi peternak. Bisa-bisa biaya untuk perawatan sehari-hari saja tidak akan tertutup.
Untuk dapat menutup kebutuhan biaya yang diperlukan, Kok Tjoe menjual beberapa hasil penangkaran dan bibit lama dengan konsekuensi harus selalu diisi dengan bibit baru. Dengan catatan yang masih diharapkan keturunannya masih ada.
 



PerkututMall             http://perkututmall.tripod.com            e-mail : okto@bigfoot.com