CLIPPING
Perlu Mendongkrak lagi Ras Lokal
Sumber : Minggu Pagi
Edisi : Minggu ke-1 Desember 1994

Konkrus Perkutut Masih Didominasi Bangkok
Bicara soal perkutut ( Geopelia Striata ), pulau Jawa yang seharusnya kiblat. Lebih khusus lagi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah memilih hewan bersuara hurketekung itu sebagai maskot. DIY lah yang pertama kali menyelenggarakan lomba atau konkurs seni suara burung perkutut.

Perkutut memang sudah begitu menyatu dengan kehidupan orang Jawa. Pada masa dulu, perkutut tidak hanya dianggap sebagai kelangenan yang dinikmati suaranya dan dipandang bentuk serta sosok tubuhnya, tapi juga diyakini punya kekuatan magis dan punya pengaruh pada nasib, rejeki, dan ketentraman hidup pemeliharanya.

" Kelebihan atau keunggulan itulah yang jadi sebagian dasar dipilihnya perkutut sebagai maskot fauna DIY. Dengan harapan, tidak hanya sekedar menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk makin mencintai dan menyayangi hewan ini, tapi juga untuk jadi pengingat. Dengan mendengar suara perkutut, diharapkan setiap orang langsung mengingat kota gudeg ini " jelas seorang staf Biro Humas Sekwilda Propinsi DIY.

Dalam perkembangannya, perkutut tidak lagi hanya sekedar dilihat dari makna yang dijadikan dasar pemilihan hewan ini sebagai maskot DIY. Sekarang ini, perkutut sudah jadi komoditas yang tambah semarak dibisniskan. Keberadaan lomba atau konkurs bukan lagi hanya ajang mat - matan penghapus stress, tapi sudah merupakan sarana menaikkan harga sekaligus gengsi atau status sosial.

Dengan perkembangan tersebut, bukan hanya pakem lomba yang kemudian bisa direkayasa, perkutut yang bertarung pun tidak hanya ras lokal, tapi juga ras impor. Celah inilah yang jeli dilihat oleh ahli ternak unggas Thailand, yang kemudian melakukan rekayasa genetik terhadap berbagai jenis perkutut asli Indonesia. Hasilnya lantas dikembalikan lagi ke Indonesia dengan label " perkutut bangkok ".

Penggemar perkutut di Indonesia pun seketika melupakan kekayaan sendiri. Dengan penuh rasa hormat mereka mengagul - agulkan perkutut rekayasa penangkar Thailand tersebut. Maka di arena lomba atau konkurs, yang mendominasi kemudian perkutut bangkok. Perkutut lokal sepertinya tak memperoleh tempat lagi.

Bisnis perkutut memang sudah demikian marak, begitu pula di arena lomba atau konkurs, tapi DIY masih jauh tertinggal dibanding daerah lainnya. Balik dari sisi bisnis maupun dari sudut lomba atau konkurs. Perkutut Yogya nyaris tidak pernah terdengar menang di event nasional.

Tentang hal ini, Sugiyono, pemilik Astana Langen Sri Kukila " Aneka Sari " yang bermarkas di Jalan Gajah Mada 39 Yogyakarta, melihatnya dari sisi daya beli yang sangat kurang dari penghobi perkutut DIY. " Kita tidak punya penghobi yang punya  uang banyak, yang bisa membeli perkutut - perkutut juara atau impor langsung dari Thailand,. Itulah sebabnya DIY belum banyak bicara di forum Nasional " ucap ayah tiga anak itu.

Karena kondisi ini pula, menurutnya, banyak bakalan DIY, yang akhirnya terbukti jadi juara I tingkat nasional, terpaksa bermukim di propinsi lain. " Penghobi perkutut DIY kebanyakan baru bisa menghasilkan bakalan juara . Sebab sebelum waktunya ditampilkan di arena lomba, bakalan tersebut sudah dibeli penghobi dari propinsi lain yang punya banyak uang. Karena harga tukarnya cukup tinggi, ya terpaksa diberikan " aku Sugiyono yang mulai intensif bergelut dengan perkutut sejak 1980-an.

Hal serupa juga dikatakan Drs HA Suyadi Hp, ketua Korwil P3SI ( Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia ) DIY yang kebetulan  juga Kepala Desa Catur Tunggal Depok Sleman. " Ratusan anggota P3SI DIY tidak hanya sekedar penghobi, tapi juga sekaligus penangkar. Karena harga bakalan cukup mahal dan banyak dicari mereka jadi kurang serius melahirkan perkutut juara. Hanya beberapa saja yang benar - benar serius " jelasnya. 
 



PerkututMall          http://perkututmall.tripod.com         e-mail : okto@bigfoot.com